Jumat, 02 November 2007

Teori Otak Dengkul Bikin Robot Jalan Cepat

(Artikel 4)Teori Otak Dengkul Bikin Robot Jalan Cepat



Ilmuwan di Jerman berhasil menemukan cara untuk membuat robot berjalan mirip manusia. Bukan hanya mirip, robot ini pun bisa berjalan cepat dibandingkan robot serupa yang sudah ada.
Robot itu bernama Runbot, sebuah robot berkaki dua berukuran kecil yang bisa bergerak sejarak tiga kali panjang kakinya dalam satu detik. Ini hanya sedikit lebih lambat dari kecepatan manusia saat berjalan dengan cepat.
Robot ini menggunakan teori 'otak dengkul' yang dikemukakan pertama kali oleh NIkolai Bernstein pada era 1930-an. Teori itu pada intinya mengemukakan bahwa otak manusia (yang ada di kepala) tidak melulu memproses cara berjalan.
Otak, ujar Bernstein, hanya bekerja saat berjalan dari satu permukaan ke permukaan lain, misalnya dari lantai ke rumput, atau saat permukaan tidak rata. Selebihnya, kemampuan berjalan ditangani oleh 'otak' alias syaraf-syaraf di tulang punggung dan kaki, termasuk di dengkul.
Dengan menerapkan teori tersebut, Profesor Florentin Woergoetter dan tim dari Universitas Gottingen, Jerman, berhasil membuat Runbot. Tim Woergoetter mencakup ilmuwan dari berbagai latar belakang, termasuk Poramate Manoonpong, Tao Geng, Tomas Kulvicius dan Bernd Porr.
Bukan Robot Kikuk
Saat berjalan menuju sebuah tanjakan, Woergoetter mengatakan, 'otak dengkul' Runbot akan menganggap tidak ada masalah. Namun ketika tubuh Runbot terjatuh karena gaya gravitasi menariknya ke belakang sistem 'otak atas' Runbot akan mendeteksinya dan melakukan perubahan.
Selanjutnya, ujar Woergoetter, perubahan itu akan diterapkan ke 'otak dengkul' sehingga 'otak atas' tak perlu terus menerus melakukan proses. "Sulitnya pada robot, adalah menerapkan gerakan pada waktu yang tepat --dalam hitungan milidetik-- agar tidak jatuh," paparnya.
Runbot memiliki cara jalan yang berbeda dengan robot populer seperti Asimo, atau sejenisnya. "Robot-robot itu adalah pejalan kinematis, mereka berjalan selangkah demi selangkah dan memperhitungkan setiap sudut setiap milidetik," ia menjelaskan.
Melalui teknologi kecerdasan buatan dan rekayasa robotika, Woergoetter mengatakan proses rumit itu memang bisa dilakukan. "Namun sangat kikuk. Manusia tidak berjalan seperti itu. Mesin-mesin besar itu menghentak bagai robot, kami mau membuat robot yang berjalan seperti manusia," ujarnya.
Saat ini tim tersebut sedang memikirkan bagaimana menerapkan Runbot untuk membuat robot yang berukuran lebih besar. Runbot juga akan dikembangkan agar reaksinya lebih cepat dan lebih adaptif.

Diposting oleh alfa_zR di 06:31 0 komentar Link ke posting ini



PENCIUMAN ELEKTRONIK INGIN MENGGESER HIDUNG

Sebagai indera penciuman, hidung sanggup membaui ribuan aroma yang berbeda. Mulai dari aroma makanan lezat, harumnya mawar, hingga bau tak sedap. Bisakah peran besar organ penciuman itu diambil alih oleh alat pencium buatan atau sejenisnya? Laboratorium Kecerdasan Komputasional, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, telah merancang tiruan hidung
Foto: Dok. Wisnu Jatmiko

Perangkat sistem penciuman elektronik buatan Wisnu.


Sebenarnya, tidak gampang merancang sistem penciuman buatan. Pasalnya, hidung yang sarat dengan saraf penciuman itu tergolong organ paling sulit untuk dibuat tiruannya, setelah organ perasa alias lidah. Ini diakui oleh Benyamin Kusumoputro, Ph.D., Kepala Laboratorium Kecerdasan Komputasional Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia di Depok.

Meskipun demikian bukan berarti tidak mungkin ditiru. Bisa saja, hanya belum mampu menyamai 100% peran hidung beneran. Maklum, saraf sistem penciuman manusia memang ajaib, sanggup membedakan puluhan ribu aroma berbeda. Lagi pula mekanisme sistem penciuman dari sono-nya amat efektif dalam memilah dan membedakan perlagai aroma. Ibaratnya, bisa mendeteksi satu molekul aroma di antara puluhan ribu molekul di udara!

Apa pun wujud rancangan sistem hidung elektronik itu, yang pasti tersimpan tujuan mulia. Yakni untuk mendeteksi dan mengklasifikasikan aroma secara otomatis. Sadar atau tidak, tersembunyi juga keinginan menggeser peran hidung sebagai pengontrol kualitas dalam industri yang membutuhkan pengenalan aroma, terutama industri minuman, kosmetik, dan minyak wangi.
Ini bukan berarti meremehkan indera penciuman kita sendiri. Masalahnya, sistem penciuman kita amat dipengaruhi kondisi perasaan sesaat dan kesehatan. Artinya, ketelitian dan kontrol kualitas pengenalan aroma bisa terpengaruh. Belum lagi kalau petugas kontrol kualitas aroma mendadak terserang pilek, bisa-bisa indera penciumannya tidak berfungsi dengan baik.

Tidak ada komentar: